Friday 31 July 2015

Konseling Lintas Budaya ( Minang dan Sunda )

TUGAS KELOMPOK
“ Macam-macam Budaya Masyarakat Indonesia
( Minang dan Sunda )
Sebagai salah satu tugas mata kuliah Konseling Lintas Budaya
Dosen Pengampu : Dr.Hj. Ida Umami, M.Pd.

 











Oleh :
Kelompok 4
Kelas A

Nama
NPM
Ardi Putra
09130436
Erni Juarni
09130608
Mely Kustiana Sari
09130500
Suci Aryani
09130510
Sumariyo
09130512


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI  BIMBINGAN DAN KONSELING
2012

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum .wr.wb.
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan tugas kelompok ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolonganya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan tepat pada waktunya.

Tugas kelompok ini disusun agar pembaca dapat mengetahui seberapa besar ”Macam-macam Budaya Masyarakat Indonesia khususnya Minang dan Sunda”  terhadap pemahaman budaya dalam  proses pengetahuan di lingkungannya yaitu Indonesia. Tugas kelompok ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah tugas kelompok ini dapat terselesaikan.
Tugas kelompok ini adalah untuk dicermati dan perlu mendapat dukungan dari semua pihak yang peduli terhadap dunia budaya.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah ini dan teman-teman yang telah banyak membantu penyusun agar dapat menyelesaikan makalah  tugas kelompok ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kami menyadari bahwa karya tulis ini kurang sempurna. Oleh karena itu, Kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.  Terima kasih.
Wassalamualaikum .Wr.WB

Metro,      Maret 2012



    Penulis
IDENTITAS MAKALAH KELOMPOK 4 MAHASISWA :



Nama                          : Sumariyo
NPM                           : 09130512
Prodi                           : Bimbingan Konseling
Alamat                        : Jln.Suro Amijoyo, Desa Kebagusan,
                                      Kab. Pesawaran, Kec. Gedungtataan
Contak Person           : 085279774397
Tandatangan             :


Nama                          : Suci Aryani
NPM                           : 09130510
Prodi                           : Bimbingan Konseling
Alamat                        : Labuhan Ratu 6
                                      Lampung Timur
Contak Person           : 085789980022
Tandatangan             :


Nama                          : Mely Kustiana Sari
NPM                           : 09130500
Prodi                           : Bimbingan Konseling
Alamat                        : Bumi Raharjo, Kec. Bumi Ratu
                                      Nuban, Jl. Metro Wates 5 KM
Contak Person           : 085369431763
Tandatangan             :


Nama                          : Erni Juarni
NPM                           : 09130608
Prodi                           : Bimbingan Konseling
Alamat                        : Bumi Kencana Kecamatan
                                      Seputih Agung
                                      
Contak Person           : 085758152705
Tandatangan             :


Nama                          : Ardi Putra
NPM                           : 09130436
Prodi                           : Bimbingan Konseling
Alamat                        : Gayabaru II Seputih Surabaya,
                                      Lampung Tengah.
Contak Person           : 087798893063
Tandatangan             :

DAFTAR ISI

                        Halaman
HALAMAN JUDUL..............................................................................          i
IDENTITAS MAHASISWA.................................................................          ii
KATA PENGANTAR............................................................................         iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................          1
1.1  Latar Belakang..................................................................................
1.2  Tujuan................................................................................................
1.3  Manfaat.............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A.    Hakekat dan Pengertian Budaya.......................................................
B.     Hubungan antara Unsur-unsur Budaya dalam Masyarakat...............
C.     Dinamika Unsur-unsur Budaya.........................................................
D.    Gambaran Kehidupan Budaya Minang dan Sunda..........................
E.     Elemen Pokok Konseling dalam Lintas Budaya...............................

BAB III PENUTUP
A.    Tanggapan Kelompok.......................................................................
B.     Simpulan ...........................................................................................
C.     Saran..................................................................................................

DAFTRAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Semua orang yakin bahwa setiap daerah memiliki andil yang sangat besar terhadap sebuah budaya. Macam-macam budaya di indonesia sangat beragam sehingga satu dengan yang lainnya dapat saling mengenal dalam membantu meningkatkan dan mengembangkan karakteristik juga sifat dari berbagai budaya serta dapat mewujudkan suatu tujuan secara optimal. Keyakinan ini muncul karena manusia adalah makhluk yang unik, yang dalam perkembangannya senantiasa membutuhkan orang lain, sejak lahir, bahkan pada saat meninggal. Semua itu menunjukkan bahwa setiap orang membutuhkan orang lain dalam perkembangannya, demikian juga budaya, ketika suatu daerah memiliki budaya maka pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap pengakuan dari budaya lain, agar budaya mereka dapat berkembang secara optimal.
Budaya adalah bentuk daripada karakteristik milik bersama dengan hasil belajar kemudian didasarkan pada lambang tertentu dan menentukan kehidupan, yang menjadi panutan dan identifikasi bagi para masyarakat, dan lingkungannya. Oleh karena itu, macam-macam budaya masyarakat indonesia dalam pengetahuan adalah membantu para individu atau kelompok sosial yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi, dan memahami maupun mencermati dalam kehidupan yang ada.
Untuk itu, terdapat beberapa hal pokok yang perlu diketahui tentang budaya yaitu :
1. Pengertian budaya
2. Karakteristik budaya
3. Sifat-sifat budaya
4. Dinamika Unsur budaya
5. Analitika nilai-nilai budaya minang dan budaya sunda

Maka dari itu, dalam makalah tugas kelompok ini akan dipaparkan mengenai “Macam-macam budaya masyarakat indonesia di minang dan sunda” dalam pembelajaran sebagai acuan untuk memahami sebuah konseling lintas budaya.

1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah tugas kelompok ini adalah untuk mengetahui “macam-macam budaya masyarakat indonesia” dalam pembelajaran disebuah lingkungan pendidikan ataupun dalam sebuah lingkungan kemasyarakatan.

1.3 Manfaat
Sebagai seorang calon guru yang baik dan Profesional, maka Mahasiswa dapat mengetahui dengan memahami hakekat  dari macam-macam budaya sehubungan dengan (a) Hakekat dan arti Budaya, (b) Hubungan antara unsur-unsur budaya dalam masyarakat, (c) Dinamika unsur-unsur budaya (d) Gambaran kehidupan budaya minang dan sunda. (e) Elemen pokok konseling lintas budaya





BAB II
PEMBAHASAN


A.    HAKIKAT BUDAYA
1. Pengertian Budaya
Kata budaya berasal dari bahasa sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian budaya diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.
Melville J. Herkovits memandang budaya sebagai suatu yang superorganic karena dapat diwariskan secara yang turun-temurun dari generasi ke generasi dan tetap hidup walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa berganti. Sementara itu Edward B. Taylor melihat budaya sebagai hal kompleks yang mencangkup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral hukum, adat-istiadat, kemampuan-kemampuan, kebiasaan-kebiasaan atau semua hal yang dimiliki manusia sebagai anggota masyarakat.
Definisi budaya dapat didekati dari beberapa macam pendekatan. Pendekatan pendekatan itu seperti pendekatan antropologi, psikologi bahkan dari pendidikan. Salah satu tokoh antropologi yaitu E. B. Tylor (dalam Ahmadi, 1986; Soekanto, 1997) mendefinisikan budaya sebagai berikut, budaya adalah keseluruhan yang komplek, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Para ahli antropologi lainnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu bentuk perilaku, suatu hubungan atau interaksi antara manusia yang di dalamnya terdapat keyakinan, nilai nilai dan peraturan (Graves, 1986: Rose et all, 1982; Spradley, 1979; McDermot, 1980; Brislin, 1981; Linton, 1939. Dalam Herr, 1989). Kluckhohn (dalam Rosjidan:1995) mendefinisikan budaya sebagai berikut:
Budaya terdiri dari berbagai pola tingkah laku, eksplisit dan implisit, dan pola tingkah laku itu (diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan karya khusus kelompok kelompok manusia, termasuk penjelmaannya dalam bentuk hasil budi manusia; inti utama budaya terdiri dari ide ide tradisional, terutama nilai nilai yang melekatnya; sistem budaya pada satu sisi dapat dipandang sebagai hasil perbuatan, pada sisi lain, sebagai pengaruh yang menentukan perbuatan perbuatan selanjutnya.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan budaya sebagai semua hasil karya rasa dan cipta masyarakat. Contoh hasil karya masyarakat adalah teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture). Budaya kebendaan itu diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya.
Contoh hasil rasa yang meliputi jiwa manusia adalah segala kaidah dan nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan secara umum dan luas. Rasa meliputi agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia sebagai anggota masyarakat.
Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup dimasyarakat. Contoh hasil cipta manusia antara lain filsafat dan ilmu pengetahuan. Semua karya, rasa dan cipta ini diakui oleh manusia dan dimanfaatkan sesuai dengan kepentingan sebagai besar atau seluruh masyarakat. Dari berbagai definisi diatas, dapat kita simpulkan bahwa budaya merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat didalam pikiran manusia.
Lebih lanjut, tokoh pendidikan nasional kita bapak Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi budaya sebagai berikut:
Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan budaya adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dengan demikian, Suatu hasil budaya kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih baik dari "tetangganya".
Nilai selalu berhubungan dengan hal hal yang bersifat baik atau buruk, bagus atau jelek, positif atau negatif, indah atau buruk. Karena nilai berkaitan erat dengan keyakinan yang dimiliki oleh individu, maka hal tersebut akan terkait pula dengan bagaimana individu mengadopsi nilai nilai. Sedangkan apa yang telah diadopsi tersebut akan ditampakkan dalam wujud perilaku, sikap, ide ide serta penalaran. Dengan demikian, antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar budaya yang sama.

2.      Karakteristik Budaya
Secara umum, budaya-budaya masyarakat di dunia memiliki beberapa karakteristik umum. Diantaranya adalah bahwa budaya merupakan milik bersama, merupakan hasil belajar, didasarkan pada lambang dan terintegrasi.
1. Budaya adalah milik bersama, artinya bahwa unsur-unsur yang tercakup dalam budaya, seperti ide, nilai dan pola perilaku, dijalankan dan dipelihara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian pandangan atau tindakan-tindakan tertentu yang hanya dilakukan satu orang bukanlah sebuah pola budaya, melainkan hanyalah sebuah kebiasaan pribadi. Contohnya kebiasaan seorang yang makan nasi dengan dicampur pisang bukanlah suatu budaya. Budaya dihayati dan dijalankan bersama oleh seluruh anggota masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu masyarakat akan mudah memahami tindakan individu dalam kelompoknya. Selain itu, karena memiliki budaya yang sama, anggota masyarakat yang satu dapat meramalkan atau memperkirakan perbuatan anggota lainnya dalam situasi tertentu didalam kelompoknya, lalu mengambil tindakan yang sesuai.
2. Budaya merupakan hasil belajar, artinya semua unsur budaya adalah hasil belajar dan bukan warisan biologis (dibawa sejak lahir). Dengan demikian, budaya suatu masyarakat dapat berbeda dengan budaya dari masyarakat lainnya. Contoh, orang indonesia makan dengan menggunakan sendok dan orang cina makan dengan menggunakan sumpit. Kedua pola perilaku ini tidak dibawa seseorang sejak ia lahir, tetapi merupakan hasil belajar dari pola perilaku generasi sebelumnya. Seseorang mempelajari budaya dengan cara ikut serta menjadi besar didalam budaya tersebut. Ralph Linton mengatakan bahwa budaya adalah warisan sosial sosial umat manusia. Artinya, budaya diwariskan melalui hubungan-hubungan sosial yang terus menerus. Proses penelusuran budaya dari suatu generasi ke generasi yang lainnya disebut enkulturasi atau pembudayaan.
3. Budaya didasarkan pada lambang, artinya seorang ahli antropologi, Leslie White mengemukakan bahwa semua perilaku manusia dimulai dengan penggunaan lambang-lambang tertentu. Sebagaimana kita ketahui kekuatan dan ketaatan individu atau kelompok dapat dibangkitkan dengan adanya lambang-lambang, seperti lambang keagamaan, seni, politik dan ekonomi. Aspek simbolis yang terpenting dari gambar budaya adalah bahasa. Bahasa telah berhasil menggantikan objek gambar dengan lambang berupa bunyi-bunyi yang memiliki makna yang berbeda-beda. Stanley Salthe menegaskan bahwa bahasa simbolis adalah fundamen atau dasar tempat budaya manusia dibangun. Unsur-unsur budaya seperti struktur politik, agama, kesenian, organisasi ekonomi, tidak mungkin ada tanpa lambang-lambang. Dengan menggunakan bahasa itulah manusia dapat meneruskan budaya dari generasi yang satu kepada generasi yang lain.

3.      Sifat Budaya
Secara umum, sifat-sifat budaya adalah sebagai berikut :
  1. Budaya bersifat universal, akan tetapi perwujudan kebudayaan memiliki ciri-ciri khusus yang sesuai dengan situasi maupun lokasinya. Masyarakat dan budaya adalah dwitunggal yang tidak dapat di pisahkan. Hal ini mengakibatkan setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan. Jadi, budaya bersifat universal, yakni sebagai atribut setiap masyarakat didunia ini. Namun demikian, setiap budaya memiliki ciri-ciri khusus berdasarkan latar belakang atau pengalaman-pengalamannya. Contoh, Ahmad  dari indonesia dan James dari inggris sama-sama memiliki kebudayaan (bersifat universal).
  2. Budaya bersifat stabil dan dinamis. Setiap budaya pasti mengalami perubahan atau perkembangan, walaupun kecil dan seringkali tidak dirasakan oleh anggota-anggotanya. Coba perhatikan corak pakaian potret nenek Anda ketika masih muda, lalu bandingkan dengan corak pakaian Anda saat ini! Tentu berbeda. Itulah contoh kecil perubahan dalam masyarakat. Umumnya , unsur kebendaan seperti teknologi lebih terbuka untuk sebuah proses perubahan, dibandingkan dengan unsur rohani seperti moral dan agama.
  3. Budaya cenderung mengisi dan menentukan jalannya kehidupan manusia walaupun jarang disadari oleh manusia itu sendiri. Budaya merupakan atribut manusia. Namun, tidak mungkin seseorang mengetahui dan meyakini seluruh unsur budayanya. Betapa sulit bagi seorang untuk mengetahui seluruh unsur-unsur budaya yang didukung oleh masyarakat. Sebagai contoh, jarang kita temukan orang yang berasal dari indonesia misalnya yang mengetahui unsur-unsur budaya indonesia sehingga sekecil-kecilnya. Padahal budaya tersebut menentukan arah serta perjalanan hidupnya.

B.     HUBUNGAN ANTARA UNSUR-UNSUR BUDAYA DALAM MASYARAKAT
  1. Peralatan dan perlengkapan hidup, teknologi muncul sebagai cara-cara manusia untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, sebagai cara-cara manusia untuk mengorganisasikan masyarakat, serta sebagai cara-cara manusia untuk mengekspresikan rasa keindahan. Teknologi pada hakikatnya meliputi tujuh unsur berikut ini.
-          alat-alat produksi, alat-alat yang berfungsi untuk melaksanakan suatu pekerjaan produktif. Contoh alat produksi adalah jala ikan, alat penenun kain, alat pemintal benang, cangkul, bajak, mesin percetakan, robot dan kendaraan.
-          Senjata, selain digunakan untuk membela diri dari ancaman kelompok lain dan binatang buas, senjata juga dipergunakan untuk berburu dan memperoleh makanan. Dalam hal ini senjata berfungsi sebagai alat produktif. Dalam masyarakat modern, senjata tidak lagi digunakan untuk mencari makanan tetapi lebih sebagai alat membela diri dan olahraga.
-          Wadah, adalah alat atau piranti yang berfungsi untuk menampung, menimbun dan menyimpan barang-barang. Contoh adalah priuk, piring, guci dan teko. Wadah dapat dibuat dari bambu , kayu, kulit, serat, tanah batu, kaca dan logam. Setiap masyarakat dengan berbagai tingkat peradaban telah mengenal teknologi pembuatan wadah.
-          Makanan dan minuman, merupakan barang konsumsi. Makanan dapat dikelompokan atas buah-buahan, akar-akaran, biji-bijian, daging dan ikan. Dimasyarakat ditemukan cara-cara mengolah makanan yang bisa berbeda-beda, tergantung pada jenis teknologi yang dikuasai oleh masyarakat setempat.
-          Pakaian dan perhiasan, di indonesia setiap suku bangsa umumnya mengembangkan corak pakaiannya yang disesuaikan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Masyarakat jawa misalnya memiliki pakaian daerah yang disebut kebaya dan batik. Suku bangsa manggarai memiliki pakaian daerah disebut songket dan bali belo. Selain pakaian sebagai perlengkapan busana, manusia mengenal berbagai perhiasan seperti gelang, kalung, bando, sabuk pinggang, cincin dan sepatu. Perhiasan-perhiasan ini terbuat dari bahan yang beragam
-          Tempat berlindung dan perumahan, ada tiga macam bentuk poko dari rumah manusia yaitu rumah yang setengah dibawah tanah, rumah diatas tanah dan rumah diatas tiang-tiang (rumah panggung). Berdasarkan pemakaiannya rumah dibeakan menjadi rumah tempat tinggal keluarga kecil, rumah tempat tinggal keluarga besar, rumah suci, rumah pemujaan, rumah tempat berkumpul umum dan rumah untuk pertahanan atau benteng. Di indonesia setiap suku bangsa umumnya memiliki bentuk atau corak rumah yang berbeda-beda. Hal ini biasanya disesuaikan dengan adat dan kebiasaan hidup masyarakatnya.
-          Alat-alat transportasi, alat-alat ini diciptakan bertahap, mulai dari alat yang sederhana, seperti rakit dan gerobak hingga alat yang berteknologi tinggi seperti mobil, sepeda motor dan pesawat terbang.
  1. Sistem mata pencaharian
-          Berburu dan meramu, sistem mata pencaharian berburu dilakukan langsung dengan cara menangkap dan mengkonsumsi hewan-hewan hasil buruan. Meramu dilakukan dengan cara mengambil dan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan secara langsung
-          Berternak, umumnya kelompok-kelompok peternak juga memerlukan kebutuhan lain selain daging dan susu. Mereka juga membutuhkan beras, gandum atau sayur-sayuran. Untuk itu, kelompok-kelompok ini melakukan hubungan dengan kelompok-kelompok lain yang bercocok tanam.
-          Bertani, hasil pertanian sebagian besar untuk konsumsi sendiri, sedangkan sisanya untuk dijual keperluan lainya.
-          Menangkap ikan, pada masyarakat tradisional kegiatan menangkap ikan umumnya dilakukan dengan teknologi yang sangat sederhana. Mereka umumnya hanya menggunakan jala kecil dengan perahu dayung, perahu layar atau dengan perahu bermesin kecil. Mereka umumnya menangkap ikan tidak jauh dari tempat tinggal mereka.
  1. sistem kemasyarakatan
-          Sistem kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan. Yang termasuk dalam anggota kekerabatan adalah ayah, ibu, anak-anak, menantu cucu, kakak, paman, bibi, kakek-nenek, dan seterusnya.
-          Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Berdasarkan macam atau bidang kegiatannya, organisasi sosial didalam masyarakat dapat dikelompokan atas bidang-bidang berikut : (1) bidang pendidikan antara lain sekolah, lembaga pendidikan luar sekolah, universitas, dan organisasi profesi pendidikan /misalnya PGRI, (2) bidang kesejahteraan sosial antara lain panti asuhan, pemondokan, anak-anak terlantar, dan panti jompo, (3) bidang kesehatan antara lain yayasan-yayasan kesehatan, rumah sakit, dan balai-balai pengobatan, (4) bidang keadilan misalnya lembaga-lembaga bantuan hukum.
-          Bahasa, bahasa merupakan alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi dan berhubungan. Sebagai alat komunikasi, bahasa dapat berupa bahasa tulis, bahasa lisan, dan bahasa gerak atau bahasa isyarat. Fungsi khusus bahasa adalah sebagai berikut. (1) untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, (2) untuk mewujudkan seni dan menyatakan keindahan, sehingga manusia dapat memuaskan rasa estetika misalnya terdapat pada lagu, puisi, dan karya sastra lainya (3) untuk mempelajari naskah-naskah kuno/fungsi filosofis (4) sebagai usaha mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
-          Kesenian, dipandang dari cara ekspresi manusia akan keindahan, ada tiga lapangan besar kesenian berikut ini. (1)seni rupa atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan mata/visual. Contoh seni rupa adalah seni patung, seni relief/ukir, seni lukis/gambar, seni tari dan seni rias. (2) seni suara, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga. Contoh seni suara adalah seni vokal, seni instrumental. (3) seni sastra atau kesenian yang menunjukan keindahan bahasa. Contoh seni sastra adalah puisi, novel dan cerpen.
  1. Sistem ilmu dan pengetahuan, secara sederhana pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat keadaan dan harapan-harapan. Berikut ini sejumlah pengelompokan sistem pengetahuan masyarakat. (1) pengetahuan tentang alam,yang meliputi pengetahuan tentang musim atau gejala-gejala alam yang dikembangkan dari dongeng atau mitos umumnya terbentuk untuk tujuan praktis misalnya berburu dan menangkap ikan. (2) pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan disekitarnya umumnya berbentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap bahan-bahan makanan dan perumahan. (3) pengetahuan tentang tubuh manusia umumnya terbentuk sebagai usaha pengobatan berbagai penyakit. (4) pengetahuan tentang sifat dan tingkahlaku sesama manusia. (5) pengetahuan tentang ruang dan waktu. Pengetahuan ini dikembangkan untuk berbagai keperluan misalnya untuk menghitung, mengukur, menimbang, menentukan jenjang periode waktu, serta menentukan penanggalan dan pengetahuan tentang alam semesta lainnya.
  2. sistem kepercayaan (religi), dalam suku-suku bangsa indonesia saat ini sistem kepercayaan dipengaruhi oleh kehadiran agama-agama besar yakni islam, katolikk, protestan, hindu dan budha. Dari keseluruhan uraian tentang unsur-unsur kebudayaan diatas, terlihat bahwa unsur-unsur kebudayaan tersebut tidaklah berdiri sendiri.

C.    DINAMIKA UNSUR-UNSUR BUDAYA
a.  Peran Keluarga
Proses kepemilikan (sosialisasi) budaya dari generasi ke generasi tidak bersifat herediter. Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses belajar (Ihrom, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ (Goode, 1991).
Individu akan belajar mengenal keadaan sekitarnya pertama kali melalui orang orang yang paling dekat dengan dirinya. Orang orang yang paling dekat dengan dirinya tidak lain adalah keluarga, terutama adalah orang tuanya. Dengan demikian, orang tua merupakan orang pertama yang mengajarkan budaya kepada anaknya. Nilai nilai ini diajarkan kepada generasi muda (anak) karena akan menunjukkan kepada mereka tentang bagaima cara bertindak secara benar dan bisa diterima oleh masyarakat (Fraenkel, 1977).
Orang tua akan mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana bertindak, bersikap, berpikir dan berkeyakinan terhadap sesuatu hal. Disengaia atau tidak, proses belaiar ini berlangsung terus menerus tanpa henti. Secara sadar. biasanya orang tua langsung mengajarkan sesuatu kepada anaknya. Secara tidak sadar, orang tua melakukan perilaku tertentu dan oleh anak. Dengan demikian, orang tua secara tidak sengaja mengajarkan sesuatu kepada anak. Sebagai salah satu contoh, dalam budaya Jawa orang jawa akan mengajarkan cara makan kepada anaknya. Seringkali orang jawa mengatakan Nek mangan ojo karo ngomong mengko dikancani setan" (Kalau makan jangan sambil berbicara, nanti ditemani setan). Dalam hal ini, orang tua mengaiarkan perilaku tertentu kepada anaknya, yaitu berperilaku sopan. Hanya saia, penyampaiannya mempergunakan simbol simbol tertentu.
Dalam tatanan budaya Jawa, anak telah diajarkan tentang nilai nilai (budaya) sejak anak mereka masih bayi. Hal ini tampak pada saat ibu menggendong bayinya. Bayi akan digendong oleh ibunya pada posisi pinggang kiri. Dengan digendong pada pinggang kiri ini, maka tangan kanan anaknya akan dapat bergerak dengan bebas untuk menerima apa saia yang diberikan oleh ibu atau bapaknya. Secara tidak langsung, orang tua telah mangajarkan budaya atau nilai nilai kesopanan pada anaknya (Gertz, 1993)
Dari contoh di atas, tampak bahwa orang tua akan berusaha untuk menanamkan nilai nilai atau norma norma tertentu kepada generasi berikutnya (anak). Sebagai salah satu contoh apa yang telah diuraikan panjang lebar di atas adalah sebagai berikut:
Semua orang mempunyai kebutuhan untuk makan. Hal ini merupakan insting setiap manusia. Dimanapun di muka bumi ini pasti orang butuh untuk makan. Tetapi makan ini bukan suatu budaya. Tetapi bagaimana cara makan, itu yang merupakan budaya. Orang tua yang akan mengajarkan bagaimana cara makan yang baik menurut ukuran keluarga tersebut.
Orang jawa mengajarkan makan dengan cara memakai tangan (muluk) dan harus memakai tangan kanan. Ini adalah hal yang dianggap baik. Orang Eropa akan mengajarkan kepada anaknya makkan dengan mempergunakan garpu dan pisau dan lain sebagainya.

b. Peran Masyarakat.
Dari peran lingkup sosial yang paling kecil, selanjutnya akan kita bahas peran lingkup sosial yang berikutnya, yaitu masyarakat. Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari beberapa keluarga inti yang mempunyai ciri ciri yang hampir sama. Masyarakat ini pada, umumnya tinggal di suatu daerah yang mempunyai batas dengan dengan daerah daerah lainnya. Pada masyarakat tertentu, batasan batasan ini biasanya dengan mempergunakan tembok tembok besar atau tanaman tanaman bambu (Koentjaraningrat, 1988). Pembatasan daerah yang satu dengan daerah lain ini bertujuan agar ketenangan suatu masyarakat tertentu tidak terusik oleh masyarakat yang lainnya. Pada masa lalu batasan atau pagar desa ini mempunyai tujuan agar mereka tidak diserang oleh desa atau masyarakat lainnya (Koentjaraningrat, 1988). Lebih daripada itu, pagar desa ini bertujuan agar mereka dapat melestarikan budaya yang selama ini dianutnya.
Peran masyarakat dalam proses inkulturasi atau sosialisasi budaya adalah sangat penting. Dalam pendekatan behaviorisme, dinyatakan bahwa perilaku dan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dimana dia berada. Lingkungan yang pertama adalah lingkungan keluarga dan yang berikutnya adalah masyarakat sekelilingnya. Masyarakat mempunyai beberapa peraturan (hasil budaya) yang secara langsung mengikat seseorang yang menjadi anggota masyarakatnya. Masyarakat menciptakan hukum adat, dimana hukum adat itu dibuat untuk menjaga tata tertib dan dijaga sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai suatu ketaatan yang seolah olah otomatis terhadap adat, dan kalau ada pelanggaran, maka secara otomatis pula akan timbul reaksi mesyarakat untuk menghukum pelanggar itu (Radclifle & Brown, dalam Koentjaraningrat:1990). Dengan demikkian, hukum adat itu akan langsung mengikat anggota masyarakatnya, dan mereka tidak akan lepas dari nilai nilai atau peraturan yang telah disepakati bersama.
Contoh peraturan yang mengikat anggota masyarakat untuk terus melaksanakan adat atau budaya bisa kita jumpai dari beberapa suku bangsa kita seperti suku Nias. Pada suku Nias, terdapat peraturan yang disebut dengan fondrako (Koentjaraningrat, 1998), peraturan ini dibuat dengan disertai kutukan lekas mati bagi anggota kelompok masyarakat itu yang berani melanggar. Hukum adat ini ditetapkan dalam suatu sidang tertentu. Peraturan yang demikian keras ini akan menjadi semacam hukuman atau punishment bagi mereka yang melanggar.
Dalam masyarakat Jawa juga terlihat peraturan - peraturan yang mengikat dan masih sering dilaksanakan. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi masyarakat Jawa mengikutinya dengan penuh kesadaran. Masyarakat Jawa dikenal dengan perasaan yang sangat halus, dengan demikian, ungkapan ungkapan yang bertujuan untuk melarang suatu tindakan tertentu juga diungkapkan dengan halus pula. Apabila orang jawa mengatakan “saru" (tabu) atau “orang jawa", biasanya mereka yang melakukan tindakan tertentu (salah) akan merasa "isin" (malu) dan tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.
Peraturan yang mengikat dari sekelompok Masyarakat tertentu akan membentuk suatu pola perilaku dari seseorang. Bagaimana dia berperilaku, berpikir, bersikap dan lain sebagainya akan merefleksikan aturan yang dibuat oleh masyarakat dimana dia tinggal (Riesman, dalam Herr, 1989). Sehingga akan terbentuk suatu kepribadian dasar (basic personality) atau kepribadian rata rata (lhrom, 1990).
Generasi muda mempunyai kecenderungan untuk mencontoh apa apa yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Hal ini memang salah satu proses pemilikan yang dilakukan oleh kaum muda. Dalam proses peniruan ini terjadi suatu proses belajar yang tidak disadari. Artinya dari pihak generasi tua tidak mengajarkan budaya tertentu kepada generasi mudanya secara langsung. Mungkin, apa yang dilakukan oleh generasi tua itu juga merupakan proses belajar meniru dari generasi sebelumnya.
Bateson (dalam Ihrom, 1983) mengilustrasikan suatu peristiwa yang menunjukkan proses belajar melalui perilaku meniru dari suku pengayau latmul (lrian jaya) sebagai berikut:
“Seorang yang berkedudukan penting, waktu memasuki gedung upacara, sadar bahwa mata khalayak ramai sedang memperhatikannya dan reaksinya terhadap hal itu adalah menunjukkan sikap yang berlebih lebihan. Dia akan memasuki ruangan dengan berbagai gerak gerik dan mencoba menarik perhatian orang terhadap kehadirannya dengan sesuatu ucapan. Kadang kadang dia cenderung untuk bersikap berlagak dan merasa bangga secara agak berlebih lebihan. Kadang kadang pula reaksinya ialah membadut ... bertambah tinggi kedudukannya bertambah menyolok tingkah lakunya.
Pada kaum muda, yang belum lagi mempunyai kedudukan, ditemukan sikap lebih menguasai diri. Mereka akan memasuki gedung upacara dengan tenang, tanpa menarik perhatian, dan diantara orang orang yang lebih senior dan sedang berlagak itu, mereka duduk diam diam serta bersungguh sungguh. Tetapi untuk pemuda pemuda ini ada pula sebuah gedung upacara yang lebih sederhana. Di gedung ini mereka secara miniatur melakukan upacara seperti yang dilakukan golongan senior, dan dalam upacara di kalangannya itu mereka meniru sikap orang senior dan menunjukkan sikap angkuh bercampur membadut".

llustrasi di atas memang tidak bermaksud untuk digeneralisasikan, tetapi adalah kenyataan bahwa belajar yang dilakukan oleh generasi penerus adalah melalui cara cara meniru atau mencontoh.
Masyarakat akan memberikan hadiah (reward) terhadap mereka mereka yang berjalan sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama (konsensus). Hadiah atau reward ini dapat berupa pujian pujian yang diberikan pada seseorang. Selain itu, masyarakat juga akan memberikan hukuman (punishment) kepada anggota masyarakat yang tidak dapat menjalankan konsensus atau menyimpang dari konsensus yang telah disepakati. Hukuman ini bermacam macam bentuk seperti dikenakan denda (pada suku dayak), dipasung (pada beberapa suku jawa), melalui hukum Islam (di Aceh) dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 1988)
Dari apa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap anggota masyarakatnya itu, maka seseorang akan banyak belajar tentang suatu perilaku, sikap atau cara berpikir (berdasar reward and punishment). Dari sinilah proses pelestarian budaya itu bisa berjalan dengan ketat dan masyarakat akan menentukan segala apa yang akan dilakukan dan dipikirkan oleh individu.

D.    GAMBARAN KEHIDUPAN MASYARAKAT BUDAYA MINANG DAN BUDAYA SUNDA
1. Budaya Minang
Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang.
Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura.
Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan sangat digemari di Indonesia bahkan sampai mancanegara.

Etimologi

Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau )

Asal-usul

Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

 Agama

Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang adat". Agama Islam diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat, terutama pada kawasan Pariaman, namun kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu pada kawasan pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat manurun, Syara' mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman), serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap digunakan di dataran tinggi Minangkabau.
Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada masa-masa pemerintahan Adityawarman dan anaknya Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya, walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih menyebutkan dari 3 raja Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam.
Kedatangan Haji MiskinHaji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803, memainkan peranan penting dalam penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau di saat bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran bersama bahwa Adat berazaskan Al-Qur'an.

Adat dan budaya

Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketumanggungan. Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis, sedangkan Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengankelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
Matrilineal. Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal denganSamande (se-ibu). Sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando(ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki denganBundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang (pilar utama rumah). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.
Matrilineal tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang walau hanya diajarkan secara turun temurun dan tidak ada sanksi adat yang diberikan kepada yang tidak menjalankan sistem kekerabatan tersebut. Pada setiap individu Minang misalnya, memiliki kecenderungan untuk menyerahkan harta pusaka yang seharusnya dibagi kepada setiap anak menurut hukum faraidh dalam Islam hanya kepada anak perempuannya. Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang-orang Minangkabau walau mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun dan mulai mengenal sistem patrilineal.

Bahasa

Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing.
Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam Bahasa Minang umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.
Meskipun memiliki bahasa sendiri orang Minang juga menggunakan Bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia secara meluas. Historiografi tradisional orang Minang, Tambo Minangkabau, ditulis dalam bahasa Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu atau sastra Indonesia lama. Suku Minangkabau menolak penggunaan bahasa Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah. Bahasa Melayu yang dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah digunakan untuk pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa standar dan juga digunakan di wilayah Johor, Malaya. Namun kenyataannya bahasa yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam yang terpengaruh oleh bahasa Minangkabau.
Guru-guru dan penulis Minangkabau berperan penting dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi. Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah di Bukittinggi merupakan salah satu pusat pembentukan bahasa Melayu formal. Dalam masa diterimanya bahasa Melayu Balai Pustaka, orang-orang Minangkabau menjadi percaya bahwa mereka adalah penjaga kemurnian bahasa yang kemudian menjadi bahasa Indonesia itu.

Kesenian

Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnyatari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempongdan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.
Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.

Olahraga

Pacuan kuda merupakan olah raga berkuda yang telah lama ada di nagari-nagari Minang, dan sampai saat ini masih diselenggarakan oleh masyarakatnya, serta menjadi perlombaan tahunan yang dilaksanakan pada kawasan yang memiliki lapangan pacuan kuda. Beberapa pertandingan tradisional lainnya yang masih dilestarikan dan menjadi hiburan bagi masyarakat Minang antara lain lomba Pacu jawi dan Pacu itik.

Rumah adat

Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebut gonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng. Di halaman depan rumah gadang, biasanya didirikan dua sampai enam buah Rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi milik keluarga yang menghuni rumah gadang tersebut.
Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak yang jadi penghuni rumah gadang. Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.
Selain itu dalam budaya Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang, hanya pada kawasan yang telah berstatus nagari saja, rumah adat ini boleh ditegakkan.

Perkawinan

Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah gadang mereka.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai(menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminangdan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutanbagindo atau sidi (sayyidi) di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.

Masakan khas

Masyarakat Minang juga dikenal akan aneka masakannya, dengan citarasa yang pedas, serta dapat ditemukan hampir di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke luar negeri. Walau masakan ini kadang lebih dikenal dengan nama Masakan Padang, meskipun begitu sebenarnya dikenal sebagai masakan etnik Minang secara umum.
Rendang salah satu masakan tradisional masyarakat Minang, pada tahun 2011 dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar World’s 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar oleh CNN International.

Sosial kemasyarakatan

Persukuan

Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu per-empat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang(payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik(perut) biasanya tinggal pada sebuah rumah gadang secara bersama-sama.

Nagari

Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status dan prestise. Oleh karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut. Selanjutnya sebagai pusat administrasi nagari tersebut dibangunlah sebuah Balai Adatsekaligus sebagai tempat pertemuan dalam mengambil keputusan bersama para penghulu di nagari tersebut.

Penghulu

Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai sama.
Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya kepada keluarga lainnya yang sesuku. Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam suatu nagari.
Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali posisinya dengan mencari kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.

Kerajaan

Dalam laporan de Stuers kepada pemerintah Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Tetapi yang ada adalah nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno. Namun dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau, serta dari tambo yang ada pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatera dan bahkan sampai Semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan Inderapura.
Sistem kerajaan ini masih dijumpai di Negeri Sembilan, salah satu kawasan dengan komunitas masyarakat Minang yang cukup signifikan. Pada awalnya masyarakat Minang di negeri ini menjemput seorang putra Raja Ala  Minangkabau untuk menjadi raja mereka, sebagaimana tradisi masyarakat Minang sebelumnya, seperti yang diceritakan dalam Sulalatus Salatin.

Minangkabau perantauan

Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar kampung halamannya. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.
Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.
Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah.

Jumlah perantau

Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %. Berdasarkan sensus tahun 2010, etnis Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir separuh orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi orang Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun 1978, dimana lebih 80 % perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda.
Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatera Barat. Namun belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap di perantauan.
Para perantau Minang, hampir keseluruhannya berada di kota-kota besar Indonesia dan Malaysia. Di beberapa perkotaan, jumlah mereka cukup signifikan dan bahkan menjadi pihak mayoritas. Di Pekanbaru, perantau Minang berjumlah 37,7% dari seluruh penduduk kota, dan menjadi etnis terbesar di kota tersebut. Jumlah ini telah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 1971 yang mencapai 65%. Di kota-kota lainnya, dimana jumlah orang Minangkabau mencapai 10% atau lebih dari keseluruhan penduduk kota tersebut ialah Takengon (25,9%), Sigli (25,4%), Tanjung Pinang (20%), Binjai (16,6), Sibolga (16,6%), Sabang (15,9%), Gunungsitoli (14,5%), Tanjung Balai (13,9%), Medan (13,5%), Padang Sidempuan (13,3%).

Gelombang rantau

Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, di mana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu. Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka mendirikan koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee; Barus, Natal, hingga Bengkulu. Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi. Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, pada tahun 1961 jumlah perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7 kali dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7 kali, dan pada tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10 % dari jumlah penduduk Jakarta waktu itu. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia. Masjid Tuo Kayu Jao di kecamatan Gunung Talang, kabupaten Solok yang didirikan sekitar abad ke-16.

Perantauan intelektual

Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, di antaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Mohammad Amir. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.

Sebab merantau

Faktor budaya

Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.
Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh teman-temannya. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau. Semangat untuk mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakanKaratau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun(lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.

Faktor ekonomi

Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau, secara geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah, seng, merkuri, dan besi, semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka. Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau emas) yang muncul pada cerita legenda di India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.
Pedagang dari Arab pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau Sumatera telah menggunakan sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada raja di Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires sekitar abad ke-16 menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman (Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan Indragiri pada sehiliran Batang Kuantan di pesisir timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.
Dalam prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi salah satu penyebab, mendorong Belanda membangun pelabuhan diPadang dan sampai pada abad ke-17 Belanda masih menyebut yang menguasai emas kepada raja Pagaruyung. Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatera dan dia berhasil menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya adalah pendulang emas.
Sementara itu dari catatan para geologi Belanda, pada sehiliran Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas dengan kedalaman mencapai 60 m serta di Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai para pendulang emas. Sampai abad ke-19, legenda akan kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatera.
TRADISI & UPACARA KEHIDUPAN MINANGKABAU
1.Turun mandi dan kekah (Aqiqah)
Dilakukan dengan tradisi tertentu diantara ahli keluarga. Bayi akan diberikan sesuatu sebagai tanda wujud kasih sayangnya atas kedatangan bayi itu dalam keluarga muda. Biasanya mereka memberikan perhiasan berupa cincin bagi bayi laki-laki atau gelang bagi bayi perempuanserta pemberian-pemberian yang lain.

2. Sunat rasul (khitanan)
Apabila seorang anak laki-laki telah cukup umur maka seorang anak akan menjalani khitanan yang di RanahMinang disebut Sunat Rasul. Sunat rasul dilakukan oleh ibu bapalaki-laki tersebut agar anak laki-lakinya itu menjadi anak harapan serta berbakti kepada kedua orangtua.

3. Perkahwinan (menikah)
Pada umumnya masyarakat Minangkabau beragama Islam, oleh karena itu dalam masalah nikah kawin sudah tentu dilakukan mengikut Syarak. Dalam proses perkawinan acara yang dilakukan adalah:
1. Pinang-maminang (pinang-meminang)
2. Mambuek janji (membuat janji)
3. Anta ameh (hantar emas), timbang tando (timbang tanda)
4. Nikah
5. Jampuik anta (jemput antar)
6. Manjalang, manjanguak kandang (mengunjungi,menjenguk kandang). Maksudnya keluarga laki-laki datang ke rumah calon isteri anaknya.

4. Batagak pangulu (pelantikan)
Upacara pelantikan penghulu. Upacara ini akan berlansung selama 7 hari di mana seluruh kaum kerabatdan ketua-ketua dari kampung yanglain akan dijemput.

5. Turun ke sawah, yaitu  upacara kerjagotong-royong
6. Menyabik, yaitu upacara menuai padi
7. Maanta pabukoan, yaitu menghantarmakanan kepada ibu mentua sewaktu bulan Ramadan

KEMATIAN
Acara-acara yang diadakan sebelum dansesudah kematian adalah:
1. Sakik basilau, mati bajanguak (sakit dilihat,mati dijenguk)
2. Anta kapan dari bako (Hantar kafan dari bako)
3. Cabiek kapan, mandi maik (mencabik kafandan memandikan mayat)
4. Kacang pali (mengantarkan jenazah ke kubur)
5. Doa talakin panjang di kubur.
6. Mengaji tiga hari dan memperingati dengan acara hari ketiga, ketujuh hari, keempat puluh hari, seratus hari dan malahan yang keseribuhari.

SENI TRADISIONAL MINANG KABAU
1. Randai
Randai ialah teater rakyat tradisional Minangkabau. Teater ini melibatkan muzik, nyanyian, tarian,drama dan juga seni mempertahankan diri, yaitu silat. Randai biasanya dipersembahkan ketika menyambut perayaan tradisional dan didalamnya terselit berbagai cerita dalam satu masa.Cerita-cerita yang dikisahkan dalam persembahan randai ini disampaikan melalui nyanyian, lagu dan lakonan berdasarkan lagenda-lagenda Minangkabau dan cerita rakyat. Randai ini dipersembahkan oleh kaum lelaki namun setelah 1960-an perempuan juga telah menyertai persembahan randai.

2. Tari Piring
Tarian Piring merupakan sebuah seni tarian milik orang Minangkabau yang berasal dari SumatraBarat. Ia merupakan salah satu seni tarian Minangkabau yang masih diamalkan penduduk Negeri Sembilan keturunan Minangkabau. Tarian ini memiliki gerakan yang menyerupai gerakan para petani semasa bercucuk tanam,membuat kerja menuai dan sebagainya.
Tarian ini juga melambangkan rasa gembira dan syukur dengan hasil tanaman mereka. Tarian ini merupakan tarian gerak cepat dengan para penari memegang piring di tapak tangan mereka, diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.

3. Tarian Piring Di Malaysia
Di Malaysia , tarian piring dipersembahkan ketika majlis perkahwinan terutama bagi keluarga berada, bangsawan dan hartawan di sesebuah kampung. Tarian ini biasa dilihat di kawasanBeranang,Lenggeng dan Semenyiholeh kumpulan tertentu. Tarian piring dan silat dipersembahkan di hadapan mempelai di luar rumah. Majlis perkahwinan atau sesuatu apa-apa majlis akan lebih meriah jika diadakan tarian piring.

LAIN-LAIN SENI TRADISIONAL
1. Tari Payung, menceritakan kehidupan muda-mudi Minang yang selalu riang gembira.
2. Pidato Adat, juga dikenali sebagai Sambah Manyambah (sembah-menyembah), upacara berpidato, dilakukan di setiap upacara-upacara adat, seperti rangkaian acara pernikahan (baralek), upacara pengangkatan pangulu (penghulu), dan lain-lain.
3. Pencak Silat, tarian yang gerakannya adalah gerakan silat tradisional Minangkabau
4. Saluang, Alat muzik tradisional khas Minangkabau,Sumatera Barat. Diperbuat dari pada buluh nipis atau talang. Mempunyai 4 lubang, dan panjangnya lebih kurang 40 x 60cm dan berdiameter 3-4 cm. Dimainkan seperti seruling di mana pemain saluang perlu meniup dan menarik nafas untuk mengalunkan muzik.
5. Songket, Pandai Sikek adalah sebuah daerah yang berada di Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Di daerah ini ada sebuah kejiranan tenun yang disebut Tenun Songket,Pandai Sikek, Produk tenun songket. Pandai Sikek tidak hanya untuk pakaianseperti baju kurung dan destar, tetapi juga berbagai kelengkapan upacara adat dan perkawinan, seperti:kodek songket, saruang balapak, saruang batabua, selendang songket atau selendangbatabuatingkuluaktanduak (tutup kepala wanita), dan sesamping (perlengkapan penghulu). Bagi masyarakat Minangkabau songket merupakan sejenis pakaian yang tinggi nilainya. Maka, pemakaiannya hanya untuk peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan tertentu, seperti: perkahwinan, batagakgala(penobatan penghulu), dan menyambut tetamu pentingSongket yang dibuat untuk keperluan sendiri dan atau sanak-saudara, biasanya dilakukan setelah pulang dari sawah atau setelah pekerjaan rumah tangga selesai. Tetapi, jika untuk diperdagangkan, maka pembuatannya dilakukan dari pagi hingga lewat petang oleh tenaga kerja yang umumnya adalah kaum perempuan. Penguasaan atau kepandaian membuat songket biasanya diperoleh dari orang tuanya.

Songket yang dihasilkan mengandungi makna yang tersendiri.
Motif pucuak rabuang (bambu):Semakintua dan berpengalaman orang Minang semakin merunduk.
Motif bungo antimun (timun):Melakukan sesuatu haruslah secara sistematik. Atau, jika berdebat harus jelas dan dengan dalil yang kuat.
Motif bijo (biji bayam):Seorang yang berilmu perlu memberikan ilmu dengan ikhlas dan menerima kebaikan juga dengan ikhlas. Dalam budaya Minangkabau, murid biasanya mengisicupak nan tangah (mengisi tempat berasdi rumah gurunya) sesuai kemampuannya.

Motif ilalang rabah (lalang rebah):Seorang pemimpin harus mempunyai sifat berwaspada,berhati-hati,dan cermat.Bijak memimpin dan orang yang lemah seharusnya jangan terus tunduk kepada penindasan ke atas dirinya.

RENDANG
Rendang daging adalah masakan tradisional bersantan dengan daging lembu sebagai bahan utamanya. Masakan khas ini sangat digemari disemua kalangan masyarakat baik itu di Indonesia sendiri ataupun ditempat lain.
Selain daging lembu, rendang juga menggunakan kelapa (karambia), dan campuran dari berbagai rempah khas Indonesia di antaranya Cabai (lada),lengkuas, serai, bawang dan lainnya yang biasanya disebut sebagai Pemasak.
Rendang memiliki falsafah tersendiri bagi masyarakat Minang Sumatra
Barat iaitu musyawarah, yang berasal dari 4 bahan pokok, yaitu:
Dagiang (Daging lembu), merupakan lambang dari Niniak Mamak (parapemimpin Suku adat)
Karambia (Kelapa), merupakan lambang Cadiak Pandai (Kaum Intelektual)
Lada(Cabai), merupakan lambang Alim Ulama yang pedas, tegas untuk mengajarkan syarak(agama)
Pemasak, merupakan lambang dari keseluruhan masyarakat Minang.

DENDENG BALADO
Dendeng baladoadalah masakan khas Sumatera Barat dibuat dari irisan tipis dan lebar daging sapi yang dikeringkan lalu digoreng kering. Daging goreng ini lalu diberi bumbu balado. Sedangkandendeng batokok bahannya sama dengan dendeng balado, bedanya adalah bumbu baladonya bukan memakai cabai merah, namun memakai cabai hijau yang diiris kasar dan daging sapi setelah diiris tipis melebar lalu dipukul-pukul dengan batu cobek supaya daging nya menjadi lembut.

PAKAIAN
Budaya Minangkabau terserlah indah pada busana tradisional Negeri Sembilan. Sejarah asal usul kaum Minang di Negeri Sembilan yang berhijrah dari Pagar Ruyung pada kurun ke-15di zaman kesultanan Melayu Melaka memungkinkan adat istiadat dan budaya berpakaian dari SumateraBarat kekalsegar dalam masyarakat Negeri Sembilan sehingga kini. Pakaian lelaki menyerupaiBaju Sikap yang dipakai sebagai sutberlima mengandungi baju atau jaket sederhana labuh, bajudi dalam, berseluar dipadan dengan samping dihias pula dengan tengkolok. Kaum wanita pula berbaju Kurung Teluk Belanga dan berkebaya labuh dipadan pula dengan kain sarung. Bagi wanita bangsawan berketurunan Minangkabau pula, pakaiannya dari kain baldu bersulam benang emas bertatahkan labuci. Sarungnya pula dari kain songket penuh tenunan dari Pandai Sikek atau dariBatu Bara di Sumatera.



2. Budaya Sunda
Suku sunda merupakan salah satu suku yang bertempat tinggal di daerah Jawa Barat (Garut, Tasikmalaya, Bandung, dll.) dan Banten.
Menurut narasumber, dalam daur hidupnya, masyarakat sunda mengenal berbagai prosesi upacara ritual adat. Adapun beberapa prosesi upacara ritual adat yang dikenal masyarakat sunda adalah sebagai berikut:
2.1    Upacara Adat Masa Kehamilan
2.1.1 Upacara Mengandung Empat Bulan
Kecenderungan masyarakat sunda melaksanakan upacara pada saat kehamilan menginjak empat bulan, karena pada usia kehamilan empat bulan itulah saat ditiupkannya roh pada jabang bayi oleh Allah SWT. Biasanya pelaksanaan upacara Mengandung empat Bulan ini mengundang pengajian untuk membacakan do’a selamat, doa nurbuat dan doa lainnya agar bayinya mulus, sempurna, sehat, dan selamat.
Upacara ini selain bertujuan untuk memberi doa kepada calon bayi juga sebagai pemberitahuan kepada tetangga dan masyarakat bahwa si ibu benar-benar sedang mengandung.
 2.1.2  Upacara Mengandung Tujuh Bulan/Tingkeban
Upacara ini diadakan saat kehamilan Ibu menginjak umur 7 bulan. Ibu hamil dimandikan dengan 7 macam bunga, oleh 7 orang kerabat dekat, ibu hamil mengenakan 7 lilitan kain. Selain itu dalam upacara ini dipersiapkan pula rujak kanistren yang terbuat dari 7 macam buah-buahan.
Prosesi upacara tujuh bulan adalah sebagai berikut:
a. Dimulai dengan pengajian, biasanya dibacakan ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat Lukman dan surat Maryam.
b. Ibu hamil dimandikan oleh 7 orang kerabat dekat secara bergantian,
c.  Pada guyuran ketujuh dimasukan belut, hal ini bertujuan agar belut mengenai perut ibu hamil, konon katanya belut merupakan simbol kelancaran prosesi melahirkan (licin seperti belut).
d.  Bersamaan dengan jatuhnya belut mengenai perut si ibu, calon ayah membelah kelapa gading dengan golok, yang terlebih dulu telah digambari tokoh wayang. Hal ini dimaksudkan agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir dan batin, seperti kelapa gading yang warnanya cantik, airnya bersih dan rasanya yang manis.
e.  Setelah dimandikan si ibu didandani agar terlihat cantik.
f.   Si ibu menjual rujak kanistren yang telah dipersiapkan kepada tamu yang hadir dalam upacara tersebut.
g.  Calon ayah sendiri yang harus membersihkan dan merapikan peralatan mandi yang telah digunakan.
 2.1.3  Upacara Mengandung Sembilan Bulan
Upacara sembuilan bulan dilaksanakan setelah usia kandungan masuk sembilan bulan. Dalam upacara ini diadakan pengajian dengan maksud agar bayi yang dikandung cepat lahir dengan selamat karena sudah waktunya lahir. Dalam upacara ini dibuar bubur lolos, sebagai simbul dari upacara ini yaitu supaya mendapat kemudahan waktu melahirkan.
 2.1.4  Upacara Reuneuh Mundingeun
Upacara Reuneuh Mundingeun dilaksanakan apabila perempuan yang mengandung lebih dari sembilan bulan,bahkan ada yang sampai 12 bulan tetapi belum melahirkan juga, perempuan yang hamil itu disebut Reuneuh Mundingeun, seperti munding atau kerbau yang bunting. Prosesi upacara yaitu ibu hamil mengelilingi kandang kerbau atau rumah sebanyak 7 kali, dengan bertingkah-laku layaknya seekor kerbau. Hal ini dimaksudkan agar agar perempuan yang hamil tua itu segera melahirkan jangan seperti kerbau yang memiliki usia kehamilan panjang, dan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
2.2 Upacara Kelahiran dan Masa Bayi
2.2.1 Upacara Memelihara Tembuni (plasenta)
Bayi dilahirkan bersamaan dengan plasentanya, plasenta itu harus dikuburkan atau di hayutkan ke sungai sesuai dengan upacara adat sunda. Sebelumnya plasenta harus dibersihkan, kemudian dimasukkan ke dalam pendil dicampuri bumbu-bumbu garam, asam dan gula merah lalu ditutup memakai kain putih yang telah diberi udara melalui bambu kecil. Pendil dibungkus dengan kain panjang dan dipayungi, Biasa pendil tersebut dikubur di halaman rumah. Upacara ini bertujuan agar agar bayi itu selamat dan kelak menjadi orang yang berbahagia.
2.2.2 Upacara Nenjrag Bumi
Upacara Nenjrag Bumi ialah upacara menghentakkan kaki si ibu ke bumi sebanyak tujuh kali di dekat bayi, atau cara lain yaitu bayi dibaringkan di atas pelupuh (lantai dari bambu yang dibelah-belah), kemudian si ibu menghentakkan kakinya ke pelupuh di dekat bayi. Maksud dan tujuan dari upacara ini ialah agar bayi kelak menjadi anak yang kagetan atau takut jika mendengar bunyi yang tiba-tiba dan menakutkan.
2.2.3.Upacara Puput Puser
Setelah bayi terlepas dari tali pusatnya, biasanya diadakan selamatan. Ada kepercayaan bahwa tali pusat (tali ari-ari) termasuk saudara bayi juga yang harus dipelihara dengan sungguh-sungguh. Adapun saudara bayi yang tiga lagi ialah tembuni, pembungkus, dan kakawah. Tali ari, tembuni, pembungkus, dan kakawah biasa disebut dulur opat kalima pancer, yaitu empat bersaudara dan kelimanya sebagai ialah bayi itu. Semuanya harus dipelihara dengan baik agar bayi itu setelah dewasa nanti dapat hidup rukun dengan saudara-saudaranya.
 2.2.4 Upacara Ekah
Pada pelaksanaan upacara ini biasanya diselenggarakan setelah bayi berusia 7 hari, atau 14 hari, dan boleh juga setelah 21 hari. Perlengkapan yang harus disediakan adalah domba atau kambing untuk disembelih, jika anak laki-laki dombanya harus dua (kecuali bagi yang tidak mampu cukup seekor), dan jika anak perempuan hanya seekor saja, Sebagai tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Domba atau kambing tersebut masak oleh keluarga si bayi, kemudian diberikan kepada tetangga dan kerabat yang mengikuiti upacara ekah. Biasanya upacara ini diisi dengan pengajian.
2.2.5 Upacara Nurunkeun
Upacara Nurunkeun ialah upacara pertama kali bayi dibawa ke halaman rumah, maksudnya mengenal lingkungan dan sebagai pemberitahuan kepada tetangga bahwa bayi itu sudah dapat digendong dibawa berjalan-jalan di halaman rumah. Upacara Nurun keun dilaksanakan setelah tujuh hari upacara Puput Puseur. Pada pelaksanaannya biasa diadakan pengajian untuk keselamatan dan sebagai hiburannya diadakan pohon tebu atau pohon pisang yang digantungi aneka makanan, permainan anak-anak yang diletakan di ruang tamu. Untuk diperebutkan oleh para tamu terutama oleh anak-anak.
 2.2.6 Upacara Cukuran/Marhabaan
Upacara cukuran dimaksudkan untuk membersihkan atau menyucikan rambut bayi dari segala macam najis. Upacara cukuran atau marhabaan juga merupakan ungkapan syukuran atau terima kasih kepada Tuhan YME yang telah mengkaruniakan seorang anak yang telah lahir dengan selamat. Upacara cukuran dilaksanakan pada saat bayi berumur 40 hari.


2.2.7 Upacara Turun Taneuh
Upacara Turun Taneuh ialah upacara pertama kali bayi menjejakkan kakinya ke tanah. Upacara ini dimaksudkan untuk mengetahui akan menjadi apakah anak itu kelak, apakah akan menjadi petani, pedagang, atau akan menjadi orang yang berpangkat.
Jalannya upacara, apabila para undangan telah berkumpul diadakan doa selamat, setelah itu bayi digendong dan dibawa ke luar rumah. Di halaman rumah telah dipersiapkan aneka makanan, perhiasan dan uang yang disimpan di atas kain putih, selanjutnya kaki si anak diinjakan pada padi/ makanan, emas, dan uang, hal ini dimaksudkan agar si anak kelak pintar mencari nafkah. Kemudian anak itu dilepaskan di atas barang-barang tadi dan dibiarkan merangkak sendiri, para undangan memperhatikan barang apa yang pertama kali dipegangnya. Jika anak itu memegang padi, hal itu menandakan anak itu kelak menjadi petani. Jika yang dipegang itu uang, menandakan anak itu kelak menjadi pengusaha, apabila yang dipegangnya emas, menandakan anak itu kelak akan menjadi orang yang berpangkat atau mempunyai kedudukan yang terhormat.
2.3 Upacara Masa Kanak-kanak
2.3.1 Upacara Gusaran
Gusaran adalah meratakan gigi anak perempuan dengan alat khusus. Maksud upacara Gusaran ialah agar gigi anak perempuan itu rata dan terutama agar nampak bertambah cantik. Upacara Gusaran dilaksanakan apabila anak perempuan sudah berusia tujuh tahun. Jalannya upacara, anak perempuan setelah didandani duduk di antara para undangan, selanjutnya membacakan doa dan solawat kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian si ibu melaksanakan gusaran terhadap anak perempuannya itu, setelah selesai lalu dibawa ke tangga rumah untuk disawer (dinasihati melalui syair lagu). Selesai disawer, kemudian dilanjutkan dengan makan-makan. Biasanya dalam upacara Gusaran juga dilaksanakan tindikan, yaitu melubangi daun telinga untuk memasang anting-anting, agar kelihatannya lebih cantik lagi.
2.3.2 Upacara Sepitan/Sunatan
Upacara sunatan/khitanan dilakukan dengan maksud agar alat vitalnya bersih dari najis . Anak yang telah menjalani upacara sunatan dianggap telah melaksanakan salah satu syarat utama sebagai umat Islam. Upacara Sepitan anak perempuan diselenggarakan pada waktu anak itu masih kecil atau masih bayi, supaya tidak malu. Upacara sunatan diselenggarakan biasanya jika anak laki-laki menginjak usia 6 tahun.
2.4 Upacara Perkawinan
2.4.1 Neundeun omong
Bila seorang pria ingin menjadikan seorang gadis sebagai istri, sebelumnya pihak orangtua akan mengadakan penyelidikan terhadap sang gadis terlebih dulu, apakah dia masih belum ada yang meminang atau mengikat. Hal ini biasanya dilakukan sendiri oleh orangtua atau melalui utusan dengan berkunjung ke rumah si gadis. Bila ternyata sang gadis belum terikat maka pembicaraan antar orangtua akan meningkat ke tahapan yang lebih serius yaitu menentukan waktu untuk melangsungkan lamaran atau pinangan.
2.4.2 Narosan/ngalamar
Narosan merupakan kelanjutan dari acara neundeun omong. Pada kunjungan kedua ini orangtua calon pengantin pria datang didampingi utusan keluarga yang sudah sepuh untuk mewakili keluarganya melaksanakan acara narosan. Mereka datang sambil membawa lemareun atau sirih pinang dan seperangkat pakaian wanita sebagai tanda pengikat yang mengandung arti bahwa si gadis yang sudah dilamar tidak lagi bebas atau sudah terikat.
Membawa sirih pinang lengkap mengandung harapan agar kedua keluarga ini dapat disatukan dan saling menyesuaikan sehingga mendatangkan kebahagiaan bersama. Selain itu, pihak keluarga pria akan membawa sejumlah uang di mana uang yang dibawa pada saat meminang ini akan menjadi ukuran berapa banyak uang yang akan dibawa pada waktu seserahan yang biasanya sekitar 10 kali lipat. Pada zaman dulu, dalam tata cara asli masyarakat Sunda, sebagai tanda pertunangan akan dilakukan acara patukeur tameuh yaitu penyerahan ikat pinggang yang terbuat dari kain pelangi atau kain polos warna hijau atau kuning emas kepada keluarga sang gadis. Setelah acara ngalamar biasanya akan ditentukan waktu untuk melangsungkan pernikahan kedua sejoli tersebut.
2.4.3 Seserahan/mawakeun
Sebagai kelanjutan dari acara ngalamar, pihak orangtua pria akan mulai mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawa dan diserahkan kepada keluarga pihak wanita, misalnya pakaian, perabotan dapur dan rumah tangga, makanan, uang sepuluh kali lipat, dan lain-lain. Keluarga pihak wanita juga akan menyerahkan sesuatu kepada keluarga pria sebagai imbalan, biasanya  seperangkat pakaian pria atau makanan, tetapi tidak sebanyak yang dibawa oleh keluarga calon pengantin pria. Peristiwa penyerahan calon pengantin pria beserta barang bawaannya yang telah ditata sedemikian cantik inilah yang disebut seserahan.
Akan dibawa juga peralatan untuk acara ngeunyeuk seureuh yang dilakukan semalam menjelang upacara akad nikah. Sebelum berangkat ke rumah calon pengantin wanita, di rumah keluarga pria terlebih dulu dilakukan ngarasulkeun atau selamatan. Setiba di rumah calon pengantin wanita dan diterima dengan acara penyambutan maka akan terjadi tanya jawab antara ayah atau utusan calon pengantin pria dengan ayah atau utusan calon pengantin wanita yang dilakukan dalam bahasa pujangga atau sastra.
Seserahan dapat dilakukan sehari sebelum hari H atau tiga hari sampai seminggu sebelumnya. Sekarang umumnya seserahan dilakukan pada saat ngeunyeuk seureuh, dengan urutan seserahan terlebih dahulu baru diteruskan dengan ngeunyeuk seureuh. Jika acara ngeunyeuk seureuh tidak diadakan maka seserahan dilakukan sesaat sebelum upacara akad nikah.

2.4.4 Ngaras dan Siraman
Ngebakan atau siraman bertujuan untuk memandikan calon mempelai wanita agar bersih lahir dan bathin sebelum memasuki saat pernikahan.
Acara berlangsung pagi atau siang hari di kediaman calon mempelai wanita. Bagi umat muslim , sebelum dimulai acara siraman terlebih dahulu diawali oleh pengajian dan pembacaan doa khusus kepada calon mempelai wanita.
Prosesi yang tercakup dalam acara siraman adalah sebagai berikut:
a.   Ngecagkeun Asinan
Dimulai dengan calon mempelai wanita keluar dari kamar secara simbolis di gendong oleh Ibu. Sementara ayah calon mempelai wanita berjalan di depan sambil membawa lilin menuju tempat siraman.
b.   Ngaras
Berupa permohonan izin calon mempelai wanita kepada kedua orangtua dan dilanjutkan dengan sungkeman serta mencuci kaki orang tua.Perlengkapan untuk prosesi ini cukup sederhana hanya tikar dan handuk.
c.   Percampuran air siraman
Kedua orang tua menuangkan air siraman ke dalam mangkuk dan mencampurnya untuk upacara siraman.
d.   Siraman
Diawali musik kecapi suling, calon mempelai wanita di bimbing oleh orang tua menuju tempat siraman dengan menginjak 7 helai kain. Siraman dimulai oleh sang Ibu , kemudian Ayah dan disusul oleh para sesepuh. Jumlah penyiram biasanya ganjil, antara 7, 9 atau 11 orang.

2.4.5 Ngeyeuk Seureuh
Ngeyeuk Seureuh adalah prosesi adat dimana orang tua atau sesepuh keluarga memberikan nasehat dan juga merupakan sex education bagi kedua calon mempelai yang dilambang dengan tradisi atau benda benda yang ada dalam acara adat tersebut. Tata cara ngeuyeuk seureuh adalah sebagai berikut :
a.   Pemandu acara memberikan 7 helai benang sepanjang 2 jengkal kepada kedua calon mempelai untuk dipegang oleh masing masing pada tiap ujungnya, sambil duduk menghadap orang tua untuk meminta doa restu.
b.   Setelah itu Pangeuyeuk membawakan doa – doa kepada Tuhan YME sambil menaburkan beras kepada kedua calon mempelai, dengan maksud agar keduanya kelak hidup sejahtera.
c.   Kemudian kedua calon mempelai “dikeprak” ( dipukul pelan pelan ) dengan sapu lidi, diiringi nasehat bahwa hidup berumah tangga kelak harus dapat memupuk kasih sayang antara keduanya.
d.   Selanjutnya membuka kain putih penutup “pangeyeukan“ yang berarti bahwa rumah tangga yang kelak akan di bina itu masih putih bersih dan hendaknya jangan sampai ternoda.
e.   Kedua calon mempelai mengangkat dua perangkat busana diatas sarung “polekat “ dan dibawa ke kamar pengantin untuk disimpan.
f.   Membelah mayang dan pinang , calon mempelai pria membelah kembang mayang dengan hati hati agar tidak rusak atau patah, melambangkan bahwa suami harus memperlakukan istrinya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
g.  Selanjutnya kedua mempelai dipersilahkan menumbuk “halu“ ke dalam “lumpang“ dengan cara: Keduanya duduk berhadapan, yang pria memegang Alu dan wanita memegang lumpang.
h.  Membuat “Lungkun” yakni sirih bertangkai, 2 lembar berhadapan digulung menjadi satu dengan bentuk memanjang, lalu diikat dengan benang. Hal ini dilakukan oleh kedua calon mempelai , orang tua serta para tamu yang hadir disitu melambang kan kerukunan. Kemudian sisa sirih dan 7 buah tempat sirih yang telah diisi lengkap juga padi, labu dan kelapa dibagikan kepada orang orang yang hadir disitu. Artinya : bila dikemudian hari keduanya mendapat rejeki berlebih, hendaknya selalu ingat untuk berbagi dengan keluarga atau handai taulan yang kurang mampu.
i.  Berebut uang, dipimpin oleh pangeuyeuk dengan aba aba, kedua mempelai mncari uang, beras, kunyit dan permen yang di tebar di bawah tikar. Artinya suami dan istri harus bersama sama dalam mencari rejeki dalam rumah tangga.
j.   Membuang bekas pangeuyeuk seureuh, biasanya di simpang empat terdekat dengan kediaman calon mempelai wanita oleh keduanya. Tradisi ini dimaksudkan bahwa dalam memulai kehidupan yang baru, hendaknya membuang semua keburukan masa lalu dan menghindari kesalahan di masa datang.
2.4.6  Upacara Sawer Penganten
Rangkaian upacara Sawer adalah sebagai berikut :
a.   Nyawer
Merupakan upacara memberi nasihat kepada kedua mempelai yang dilaksanakan setelah acara akad nikah. Berlangsung di panyaweran (di teras atau halaman).
Kedua orang tua menyawer mempelai pengantin. Saweran berisi uang logam, beras, irisan kunyit tipis, permen .
Kedua Mempelai duduk berdampingan dan dipayungi, para hadirin yang menyaksikan berebut memunguti uang receh dan permen. Melambangkan Mempelai beserta keluarga berbagi rejeki dan kebahagiaan.

b.   Meuleun Harupat (Membakar Harupat)
Mempelai pria memegang batang harupat , pengantin wanita membakar dengan lilin sampai menyala. Harupat yang sudah menyala kemudian di masukan ke dalam kendi yang di pegang mempelai wanita, diangkat kembali dan dipatahkan lalu di buang jauh jauh.
Melambang kan nasihat kepada kedua mempelai untuk senantiasa bersama dalam memecahkan persoalan dalam rumah tangga. Fungsi istri dengan memegang kendi berisi air adalah untuk mendinginkan setiap persoalan yang membuat pikiran dan hati suami tidak nyaman.
c.   Nincak Endog (Menginjak Telur)
Mempelai pria menginjak telur di baik papan dan elekan (Batang bambu muda), kemudian mempelai wanita mencuci kaki mempelai pria dengan air di kendi, mengelapnya sampai kering lalu kendi dipecahkan berdua. Melambangkan pengabdian istri kepada suami yang dimulai dari hari itu.
d.   Ngaleupaskeun Japati (Melepas Merpati)
Ibunda kedua mempelai berjalan keluar sambil masing masing membawa burung merpati yang kemudian dilepaskan terbang di halaman.
Melambang kan bahwa peran orang tua sudah berakhir hari itu karena kedua anak mereka telah mandiri dan memiliki keluarga sendiri.
e.    Huap Lingkung (pasangan mempelai disuapi oleh kedua orang tuangya
  • Pasangan mempelai disuapi oleh kedua orang tua. Dimulai oleh para Ibunda yang dilanjutkan oleh kedua Ayahanda.
  • Kedua mempelai saling menyuapi, Tersedia 7 bulatan nasi punar ( Nasi ketan kuning ) diatas piring. Saling menyuap melalui bahu masing masing kemudian satu bulatan di perebutkan keduanya untuk kemudian dibelah dua dan disuapkan kepada pasangan
  • Huap Lingkung melambangkan setelah berkeluarga, kedua anak mereka harus mencari sendiri sumber kebutuhan hidup mereka dan juga menandakan bahwa kasih sayang kedua orang tua terhadap anak dan menantu itu sama besarnya.
f.    Pabetot Bakakak
Kedua mempelai duduk berhadapan sambil tangan kanan mereka memegang kedua paha ayam bakakak di atas meja, kemudian pemandu acara memberi aba–aba , kedua mempelai serentak menarik bakakak ayam tersebut hinggak terbelah. Yang mendapat bagian terbesar, harus membagi dengan pasangannya dengan cara digigit bersama. Melambangkan bahwa berapapun rejeki yang didapat, harus dibagi berdua dan dinikmati bersama.
g. Upacara Adat Kematian
Pada garis besarnya rangkaian upacara adat kematian dapat digambarkan sebagai berikut: memandikan mayat, mengkafani mayat, menyolatkan mayat, menguburkan mayat, menyusur tanah dan tahlilan, yaitu pembacaan do’a dan zikir kepada Allah swt. agar arwah orang yang baru meninggal dunia itu diampuni segala dosanya dan diterima amal ibadahnya, juga mendo’kan agar keluarga yang ditinggalkannya tetap tabah dan beriman dalam menghadapi cobaan. Tahlilan dilaksanakan di rumahnya, biasanya sore/malam hari pada hari pertama wafatnya (poena), tiluna (tiga harinya), tujuhna (tujuh harinya), matangpuluh (empat puluh harinya), natus (seratus hari), mendak taun (satu tahunnya), dan newu (seribu harinya).
E. ELEMEN POKOK KONSELING LINTAS BUDAYA

Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas dari istilah konseling dan budaya. Pada paparan paparan terdahulu telah disajikan secara lengkap mengenai pengertian konseling dan pengertian budaya. Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu (1) adanya hubungan, (2) adanya dua individu atau lebih, (3) adanya proses, (4) membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan. Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu (1) merupakan produk budidaya manusia, (2) menentukan ciri seseorang, (3) manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Konseling lintas budaya (cross-culture counseling) mempunyai arti suatu hubungan konseling dalam mana dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan Atkinson tersebut ternyata telah memberikan definisi konseling lintas budaya secara luas dan menyeluruh.
Dari pengertian di atas, maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Dari contoh di atas, terlihat bahwa orang jawa Timur mempunyai nilai nilai sendiri yang berhubungan dengan kesopanan, perilaku, pemikiran dan lain sebagainya dan ini terbungkus dalam satu kata "kasar". Demikian pula individu yang berasal dari jawa Tengah, tentunya dia akan membawa seperangkat nilai nilai, ide, pikiran dan perilaku tertentu yang terbungkus dalam satu kata "halus". Kenyataannya, antara "halus" dan "kasar" itu sulit sekali untuk disatukan dalam kehidupan sehari. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri dalam proses konseling.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayitno, 1994). Perbedaan perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.
Jika kita memakai pengertian tersebut di atas, maka semua proses konseling akan dikatagorikan sebagai konseling lintas budaya (Speight et all, 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Hal ini disebabkan setiap konselor dan klien adalah pribadi yang unik. Unik dalam hal ini mempunyai pengertian adanya perbedaan perbedaan tertentu yang sangat prinsip. Setiap manusia adalah berbeda (indivi¬dual deferences). Hal lain yang berhubungan dengan definisi konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat bekerja sama dengan klien? Dalam melakukan hubungan konseling dengan klien, maka konselor sebaiknya bisa memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti konselor harus dapat memahami budaya spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum/universal (Speight, 1991).
Memahami budaya spesifik mengandung pengertian bahwa konselor sebaiknya mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap klien akan membawa budayanya sendiri-sendiri. Klien yang berasal dari budaya barat, tentu akan berbeda dengan klien yang berbudaya timur. Klien yang berbudaya timur jauh akan berbeda dengan klien yang berasal dari asia tenggara dan lain lain.
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak akan terjadi dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari berbagai Sumber yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung terhadap budaya klien. Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif didalam usahanya memahami budaya klien. Dengan demikian, sebagai individu yang bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering “turun” untuk mengetahui budaya di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat memahami kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung akan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di dalam memahami klien (Hunt, 1975; Herr, 1989 Lonner & ibrahim,1991).
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai individu yang selalu berkembang akan membawa nilai nilai sendiri sesuai dengan tugas perkembangan-nya. Klien selain membawa budaya yang berasal dari lingkungannya, pada akhirnya klien juga membawa seperangkat nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembangan. Sebagai individu yang unik, maka klien akan menentukan sendiri nilai nilai yang akan dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi nilai nilai yang diyakini oleh klien ini. bertolak belakang dengan nilai nilai atau budaya yang selama ini dikembangkan di lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh konselor. Karena apapun yang dibicarakan dalam konseling, tidak bisa dilepaskan dari individu itu sendiri.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku di mana saja kita berada. Nilai nilai ini diterima oleh semua masyarakat di dunia ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah penghargaan terhadap hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka. Nilai nilai ini mutlak dimiliki oleh semua orang. Nilai-nilai ini akan kita temukan pada saat kita berada di pedalaman Afrika atau pedalaman Irian, sampai dengan di kota-kota besar seperti Los Angeles dan Jakarta.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu: (1) konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien; (2) konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan (3) konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.

Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1) latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri. Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana dia berasal, dan klien alcan membawa superangkat budaya yang dibawa dari, lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal yang penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa tugas perkembangan masing masing masing. Dan kita ketahui bersama bahwa masing masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah tidak sama. Konselor akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan usianya. Begitu pula dengan klien, dia akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan umurnya.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tem¬pat tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo & Gonsalves, 1980; Canary & Levin dalam Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991; Pedersens, 1991; Lipton dalam Westbrook & Sedlacek, 1991).

Aplikasi di Sekolah
Dalam proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor sebagai agen kedua (second agent) akan membantu klien (first agent) dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien. Agar pelaksanaan konseling dapat berjalan dengan baik maka ada rambu-rambu yang seharusnya disadari oleh konselor. Rambu-rambu ini diwujudkan dalam bentukpernyataan sebagai konselor lintas budaya yang efektif. Menurut Sue (dalam Arredondo & Gonsalves, 1980) konselor lintas budaya yang efektif adalah konselor yang:
1.memahami nilai-nilaipribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia danmengenali bahwa tiap manusia itu berbeda;
2.sadar bahwa “tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral”;
3.memehami bahwa kekuatan sosiopolitik akan mempengaruhi dan akan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok;
4.dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup; dan
5.jujur dalam menggunakan konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.

Uraian di atas akan dijelaskan sebegai berikut di bawah ini.
1. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
Dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh terhadap nilai nilai yang dimilikina. Konselor harus sadar bahwa dalam melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembangannya. Nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berasal adalah nilai nilai yang tidak akan bisa dilepaskannya, walaupun dia akan berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakangnya.
Menyadari hal tersebut di atas maks konselor sebaiknya juga menyadari bahwa klien yang dibantunya juga berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan tentunya akan membawa seperangkat nilai nilai yang berbeda pula. Klien akan membawa seperangkat nilai-nilai yang berasal di mana klien itu berada dan tentunya nilai nilai klien ini tidak dapat dihilangkan begitu saja. Nilai nilai yang dibawa oleh klien akan menentukan segenap perilaku klien pada saat berhadapan dengan konselor.
Sebagai seseorang yang mengetahui banyak tentang ilmu jiwa atau psikologi, konselor tentu memahami adanya tugas tugas perkembangan yang harus dijalani oleh klien. Selain itu, konselor juga harus mengetahui bahwa masing masing tugas perkembangan yang dijalani oleh masing masing individu itu berbeda beda sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian, konselor harus memandang individu yang ada secara berbeda (individual differences).

2.. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral :
Dalam pelaksanaan konseling, konselor harus sadar bahwa teori teori konse!ing yang diciptakan saat ini adalah suatu teori yang dibuat berdasarkan kepentingan para penemunya masing masing atau dapat dikatakan bahwa teori konseling yang ada saat ini tidak akan terlepas dari pengalaman pribadi masing masing penemunya. Oleh karena itu, teori-teori konseling yang diciptakan ada kemungkinan tidak akan terlepas dari moral yang dimiliki oleh penemunya. Juga, tidak akan dapat terlepas dari muatan politik dari penemunya.
Kesadaran akan muatan muatan moral dan politik ini akan menjadikan konselor semakin tajam dalam melakukan praktik konseling. Sebab dengan mengetahui moral dan muatan politik yang dimiliki oleh penemu teori konseling tersebut berarti konselor akan semakin sadar terhadap "arah" teori konseling itu. Dengan demikiam konselor dapat memilah dan memilih teori mana yang cocok (fit/matching) dengan masalah yang dihadapi oleh klien yang berbeda pula muatan moral dan politiknya.
3. Memahami bahwa kekuatan susiopolitik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok.
Anggota masyarakat suatu kelompok tertentu, seperti yang telah dije!askan pada bab bab terdahulu pasti mempunyai aturan aturan tertentu yang berbeda dengan aturan anggota kelompok yang lainnya. Perbedaan ini bisa terimbas dengan adanya keadaan politik suatu negara. Politik memungkinkan terjadinya permusuhan antar etnis untuk kepentingan kekuasaan.
Perbedaan sosio budaya dalam suatu negeri bisa meruncing karena adanya intervensi kekuatan kekuatan politik yang memang memakai isu perbadaan sosio budaya untuk kepentingannya. Masih teringat dengan jelas di benak kita adanya perbedaan etnis di Jugoslavia. Pada kurun waktu lima belas tahun yang lalu, etnis Islam masih bisa hidup berdampingan dengan etnis asli jugoslavia. Tetapi apa yang terjadi kemudian, demi kepentingan politik tertentu, terjadi usaha pembersihan etnis. Di sini terjadi pergolakan antar etnis yang pada akhirnya memakan beberapa ribu nyawa manusia dan meruntuhkan budaya yang dimilikinya.
Konselor sebaiknya melihat fenomena yang terjadi sebagai suatu pangetahuan bahwa pergolakan yang terjadi antar etnis sangat dimungkinkan akan muncul jika ada kepentingan politik di dalamnya. Dengan demikian konselor akan sadar, dengan siapa dia akan berhadapan. Harus muncul pertanyaan dari diri konselor, “Siapakah klien saya?”, “Berasal dari etnis manakah klien saya?”, “Bagaimana budaya klien saya?”, “Bagaimana cara saya melayaninya dengan seobyektif mungkin?”

4. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup.
Konselor yang efektif adalah konselor yang mampu menginterpretasikan dunia klien sebagaimana adanya tanpa adanya interpretasi yang berlebih dari pihak konselor. Konselor sebaiknya mampu memahami pandangan klien dan budaya yang dibawa oleh klien. Dalam hal ini konselor tidak boleh secara mendadak menolak pandangan klien yang mungkin berbeda dengan pandangan konselor.
Klien datang ke ruang konseling seringka!i dengan membawa masalah yang berkaitan erat dengan masalah budaya atau nilai nilai yang dimilikinya. Masalah ini seringkaii memunculkan perbedaan dengan konselor. Konselor yang tidak sadar akan nilai nilai budaya yang berbeda dengan klien seringkali menutup diri dengan perbedaan itu. Konselor lebih sering mempertahankan nilai nilainya atau jika mungkin mengintervensi klien dengan nilai nilai yang dimilikinya.
Intervensi nilai nilai konselor akan menghambat proses konseling yang dilaksanakan. Hal ini terjadi karena klien merasa bahwa dia tidak diterima oleh konselor dengan apa adanya. Jika ini terjadi ada kemungkinan klien akan mengalami stagnasi (kemandegan) dan ujung-ujungnya, konseling tidak akan berjalan. Klien merasa bahwa pandangannya tentang nilai-nilai yang dimiliki tidak bisa diterima oleh konselor.
Jika perbedaan yang muncul antara konselor dan klien ini demikian besarnya, memang tidak ada cara lain bagi konselor untuk menghentikan proses konseling yang telah berjalan. Hanya saja, perlu diingat bahwa pemutusan hubungan itu adalah langkah terbaik bagi keduanya. Dan pemutusan hubungan itu demi kebaikan/kesejahteraan klien sendiri. Sebab, jika dipaksakan, maka kesejahteraan jiwa klien tidak akan tercapai, dan konselor sendiri akan melanggar kode etik profesi konseling.

5. Jujur dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
Dalam melaksanakan konseling satu syarat yang harus dimiliki oleh konselor adalah adanya kejujuran. Kejujuran ini mengacu pada banyak hal, salah satunya adalah dalam melaksanakan tehnik tehnik yang akan diberikan kepada klien. Kejujuran ini diungkapkan oleh konselor dengan cara memberikan rasional yang jelas kepada klien. Dengan adanya rasionel ini diharapkan klien akan mengetahui apa hak dan kewajibannya selama pelaksanaan konseling.
Hal demikian juga mengena jika konselor mempergunakan praktik atau pendekatan konseling yang bersifat eklektik. Untuk hal ini, konselor harus benar benar mengetahui teori mana yang akan dipergunakan untuk membantu klien. Selain itu, jika konselor akan mempergunakan pendekatan budaya di dalam membantu klien maka konselor harus benar benar mengetahui latar belakang budaya klien dengan jelas.
Pendekatan yang berlandaskan pada budaya yang dimiliki oleh klien memang sebaiknya dilakukan oleh konselor. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu masyarakat tertentu mempunyai cara tertentu pula untuk. menyelesaikan masalah yang dimilikinya. Berdasarkan asumsi itu, maka konselor bisa memberikan bantuan kepada klien berdasar pada latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien. Tetapi harus diingat bahwa konselor harus benar benar menguasai teknik teknik penyelesaian masalah yang berkaitan dengan budaya yang dimaksud.
Konselor sebagai pelaksana konseling di lapangan tentu saja harus dibekali dengan seperangkat ilmu yang dapat dipergunakan sebagai “senjata” untuk berhubungan dengan klien. Tanpa adanya seperangkat kompetensi atau kemampuan yang dimiliki oleh konselor, maka sulit bagi konselor untuk bisa membantu klien mengatasi masalahnya.

a. kompetensi yang dikehendaki
Untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor yang mempunyai spesifikasi. tertentu. Pedersen (dalam Mcrae & jhonson) menyatakan bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.
Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui adanya perbedaan yang mendasar antara dia dengan klien yang akan dibantunya. Selain itu, konselor harus menyadari benar akan timbulnya konflik jika dia memberikan layanan konseling kepada klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya.
Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa konselor lintas budaya harus mengerti dan memahami budaya di Indonesia, terutama nilai nilai budaya yang dimilikinya. Sebab bukan tidak mungkin macetnya proses konseling hanya karena konselor tidak mengetahui dengan pasti nilai nilai apa yang dianutnya. Dengan demikian, kesadaran akan nilai nilai yang dimiliki oleh konselor dan nilai nilai yang dimiliki oleh klien, akan dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan konseling.
Pengetahuan, konselor lintas budaya sebaiknya terus mengembangkan pengetahuannya mengenai budaya yang ada di Indonesia. Pengetahuan yang perlu dimiliki oleh konselor lintas budaya adalah sisi sosio politik dan susio budaya dari kelompok etnis tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis yang dipelajari oleh konselor, maka semakin baragam pula masalah klien yang dapat ditangani. Pengetahuan konselor terhadap nilai nilai budaya yang ada di masyarakat tidak saja melalui membaca buku atau hasil penelitian saja, tetapi dapat pula dilakukan dengan cara melakukan penelitian itu sendiri. Hal ini akan semakin mempermudah konselar untuk menambah pengetahuan mengenai suatu budaya tertentu.
Keterampilan, konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan keterampilan untuk berhubungan dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Dengan banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan masyarakat luas, maka konselor akan mendapatkan keterampilan (perilaku) yang sesuai dengan kebutuhan. Misal, konselor banyak berhubungan dengan orang jawa, maka konselor akan belaiar bagaimana berperilaku sebagaimana orang Jawa. jika konselor sering berhubungan dengan orang Minangkabau, maka konselor akan belajar bagaimana orang Minangkabau berperilaku.
Tiga kompetensi di atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan dimilikinya ketiga kamampuan itu, akan semakin mempermudah konselor untuk bisa berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakang budaya

b. Karakteristik konselor yang efektif
Dalam pelaksanaan konseling lintas budaya konse¬lor tidak saia dituntut untuk mempunyai kompetensi atau kemampuan seperti yang telah disajikan di atas. Tetapi dalam hal ini perlu pula disajikan karakteristik atau ciri ciri khusus dari konselor yang melaksanakan layanan konseling lintas budaya. Sue (Dalam George & Cristiani: 1990) menyatakan beberapa karakteristik konselor sebagai berikut:

1. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia.
Dalam hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya, seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma norma yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi lain, konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa menerima nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya.

2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum.
Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling lintas budaya.

3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya.
Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai nilai atau norma norma yang dimiliki oleh suku suku tertentu. Terlebih lagi, jika konse!or melakukan praktek konseling di indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda.
Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik. Dengan mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan atau pertentangan selama proses konseling.

4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor)
Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.

5. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik
Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling eklektik dapat berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan pendekatan yang digali dari masyarakat pribumi (indegenous).










BAB III
PENUTUP

A. TANGGAPAN KELOMPOK
Menurut tanggapan kami macam-macam budaya masyarakat indonesia khususnya minang dan sunda itu diantaranya adalah :
a.       Budaya universal atau lebih dikenal dengan budaya nasional bangsa Indonesia tidak bersifat dogmatis dan statis. Hal ini memungkinkan terjadi proses penyempurnaan secara terus menerus. Penyempurnaan ini digali dari budaya yang unik tersebut. Artinya budaya atau nilai nilai yang khas yang dimiliki oleh suku suku di Indonesia secara terus menerus memberikan sumbangan untuk sempurnanya budaya nasional ini juga untuk menjawab tuntutan jaman yang terus berkembang dan semakin maju.
b.      Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan lebih lanjut tentang sifat budaya yang tidak statis tersebut. Budaya mempunyai tujuan untuk memajukan hidup manusia kearah keadaban. Oleh sebab itu yang perlu diingat bahwa:
(1). Pemeliharaan budaya harus bermaksud memajukan dan budaya dengan tiap tiap pergantian alam dan jaman; (2) Karena pengasingan (isolasi) budaya menyebabkan kemunduran dan kematian, maka harus selalu ada hubung an antara budaya dan masyarakat; (3) Pembaharuan budaya mengharuskan pula adanya hubungan dengan budaya lain, yang dapat memperkembangkan (memajukan, menyempurnakan) atau memperkaya (yakni menambah) budaya sendiri; (4) Memasukkan budaya lain, yang tidak sesuai dengan alam dan jamannya, hingga merupakan "pergantian kebudayaan" yang menyalahi tuntutan kodrat dan masyarakat selalu membahayakan; (5) Kemajuan budaya harus berupa lanjutan langsung dari budaya sendiri, menuju kearah kesatuan budaya dunia dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam Iingkungan kemanusiaan sedunia.
c.       Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri.
d.      Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana dia berasal, dan klien akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari, lingkungan dimana dia berasal. Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal yang penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa tugas perkembanganmasing masing masing.
e.       Masing masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah tidak sama.
f.       Konselor akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan usianya. Begitu pula dengan klien, diaakan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan umurnya.
g.      Faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tempat tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografiseperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo & Gonsalves, 1980;
h.      Beberapa upacara adat yang dikenal dalam daur hidup masyarakat sunda dan minang antara lain yaitu: upacara adat masa kehamilan, upacara kelahiran dan masa bayi, upacara masa kanak-kanak (khitanan) , serta upacara perkawinan, terakhir adalah upacara kematian. Upacara tersebut berkembang dan membudaya pada masyarakat, prosesi yang sangat unik, yang menunjukan ciri khas dari masyarakat tersebut.
     
B. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa macam-macam budaya masyarakat indonesia khususnya Minang dan Sunda dalam konseling lintas budaya sangat penting karena sebagai manusia yang berintelektual/berfikir harus bisa memahami macam-macam budaya secara konteksional dalam aktifitas pengembangan yang di rencanakan untuk membantu masyarakat  dalam melakukan tugas-tugasnya sebagai masyarakat, dengan harapan dapat saling memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda. Dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh terhadap nilai-nilai yang dimilikinya. Konselor harus sadar bahwa dalam melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembangannya.

Namun, saat ini upacara-upacara adat tersebut sudah amat jarang ditemui, karena sangat sedikit masyarakat yang masih menggelar upacara-upacara-upacara tersebut yang mungkin memang sangat rumit prosesi pelaksanaannya. Hal ini disebabkan oleh lunturnya nilai budaya yang tertanam dalam masyarakat itu sendiri.

C. SARAN
  • Hendaknya sebagai masyarakat yang berbudaya harus dapat menjaga dan melestarikan kebudayaan yang kita miliki, khususnya kebudayaan daerah masing-masing.
  • Hendaknya sebagai masyarakat yang berbudaya kita patut mengenali kebudayaan yang kita miliki, sebelum kita memperkenalkan kekayaan budaya yang kita miliki kepada bangsa lain.
  • Indonesia kaya akan keragaman budaya, namun, kekayaan tersebut tidak akan bernilai tambah apabila tidak dilestarikan dan dimanfaatkan secara baik, dan benar.
  • Jangan biarkan kebudayaan yang kita miliki mengalami kepunahan, tanamkan nilai kebudayaan di dalam diri kita masing-masing.




DAFTAR PUSATAKA

Cassier, Ernst. 1990. Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esai tentang Manusia. Jakarta: PT Gramedia.
Dewantara, KH. 1977. Pendidikan 9(cetakan kedua). Yogyakarta: Majalis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Koentjaraningrat. 1990. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta : Djambatan
Maryati, kun dan Suryawati, juju. 2001. Sosiologi SMA dan MA Kelas XI. Jakarta : PT Gelora Aksara Pratama
Lubis, lysna. 2010. Bahan Ajar Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta:UNJ
http://www.google.com/images?hl=en&pwst=1&q=upacara+adat+sunda&um=1&ie=UTF-8&source=univ&ei=SCkHTfPrEIjprAf7yIXcDQ&sa=X&oi=image_result_group&ct=title&resnum=10&ved=0CHgQsAQwCQ&biw=800&bih=391pada tanggal 21/03/2012 pukul 21:10

http://www.scribd.com/doc/28892167/ETNIK-MINANGKABAU


 









*RUMAH ADAT BUDAYA MINANG    *TARIAN PENYAMBUTAN TAMU
 










*ALAT MUSIK SERULING MINANG    *PROSES PERNIKAHAN MINANG
 













* MASAKAN KHAS RENDANG SAPI & DENDENG BALADO




No comments:

Post a Comment